Rabu, 29 Januari 2014

Menikmati Hiburan Malam di Shinjuku (2-selesai)

Ini Seni, Bukan Pornoaksi

TARIAN bugil di Shinjuku, bukan sekadar mempertontonkan kemolekan tubuh, tapi mereka menyebutnya sebuah seni olah gerak yang sensual.

LAPORAN: ASWAD SYAM
Shinjuku, Jepang



MUSIK mengalun pelan, lampu yang padam perlahan meremang. Seorang wanita muncul dari balik kain hitam. Tubuhnya sintal, itu terlihat dari bayangan di balik kain tipis yang dia kenakan, saat terkena lighting yang berada di panggung bagian belakang. Gerakannya lentur, mengikuti alunan musik.

Musik mengalun lirih, sang penari berhidung bangir dengan rambut dibiarkan terurai, memperlihatkan ekspresi muka yang sendu. Perlahan, dia membalikkan tubuhnya membelakangi penontonnya, lalu dengan gerakan yang pelan, dia mulai mencopot bajunya satu demi satu.

Lighting yang memancarkan cahaya jingga, menambah artistik suasana malam yang kian melarut. Para penonton terdiam, tak ada desah nafas, semua mata melotot ke arah tubuh bugil di atas panggung. Seorang lelaki Jepang yang sudah uzur duduk di bagian paling depan, di sisi kiri panggung, terlihat tak bergerak, matanya terus mengikuti lekuk-lekuk tubuh sang penari. Tampaknya dia sangat penasaran untuk menelisik lebih jauh bagian-bagian tersembunyi dari tubuh sang penari.

Begitu pula pria Jepang yang duduk di sisi kanan panggung. Kepalanya terus mendongak, jakungnya turun naik, matanya yang sipit agak melebar, menantikan tubuh sang penari membalik. Namun, sang penari tak kunjung membalikkan badan. Dia justru mendekati sebuah kursi yang sejak awal diletakkan di tengah panggung.

Penari itu pelan mengambil baju kemeja putih, celana panjang, dan topi koboi, dan mengenakannya satu demi satu dengan posisi tetap membelakang. Gaya busananya sekarang persis seperti gaya busana Michael Jackson. Musik disko mengalun riang, sang penari membalikkan badan dan mulai berdansa seiring musik disko yang mengalun.

Sepertinya, rasa penasaran dari sang penari, menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton. Begitu sang penari membuka lebar bagian terlarangnya, para penonton bertepuk tangan keras.

Musik riang kembali berganti dengan musik slow, perlahan sang penari mulai mencopoti kembali busananya, hingga tak ada sehelai benangpun di badannya. Seorang lelaki Jepang yang duduk di bagian kiri depan, membetulkan letak kacamatanya yang berlensa "pantat botol". Sejenak, kepalanya miring mencoba mencari arah pandangan yang luas ke bagian terlarang sang penari.

Seorang teman mengomentari pertunjukan itu dengan teman di sampingnya, tiba-tiba lelaki Jepang yang duduk di bangku paling depan menengok le belakang, dan beberapa kali menempelkan tangannya ke bibir. Teman itu pun terdiam.

Kami tidak sempat menyelesaikan pertunjukan malam itu. "One more again (masih ada satu lagi)," ujar Morio. Kami menggeleng, akibat jenuh dengan pertunjukan yang monoton. Tapi semua lelaki Jepang yang rata-rata mengenakan jas lengkap dengan dasi, masih setia tinggal hingga di jam-jam terakhir. Tampaknya itu sudah sangat menghibur bagi mereka. "Konbanwa, arigato gozaimatsu," ujar Takagawa, penjaga tempat pertunjukan striptis itu. (*)

Menikmati Hiburan Malam di Shinjuku (1)

Ada Sesi Foto Usai Striptis

SHINJUKU, sebuah kawasan di Tokyo yang lekat dengan citra kehidupan malam. Di sini, Tokyo memang tak pernah "tidur".

LAPORAN: ASWAD SYAM
Shinjuku, Tokyo

USAI mengunjungi Tokyo Motor Show 2013, Tokyo Sky Tree yang merupakan tower tertinggi di Tokyo, serta menikmati menu makan malam khas Jepang, Morio San dari DMC menawari kami, mengunjungi kehidupan malam di negeri matahari terbit itu. Pilihannya tentu saja Shinjuku.

"Saya sudah membuka situsnya di internet, tidak boleh bawa kamera, tidak boleh memotret pakai hape, tidak boleh ribut, dan tidak boleh menyentuh. Boleh bawa kamera tapi nanti dititip ya," ujar Morio dengan bahasa Indonesia saat kami masih di atas bus. Meski orang Jepang, Morio memang lancar berbahasa Indonesia.

Selain itu lanjut Morio, pengunjung tidak boleh berumur di bawah 18 tahun. "Bagaimana," tanya Morio kepada seluruh rombongan sebelas jurnalis, dan dua pemenang undian ke Jepang yang merupakan pemilik show room dan bengkel Daihatsu. Kami serentak menyanggupi, jadilah sopir bus mengarahkan bus ke arah Shinjuku.

Saat tiba di Shinjuku, Morio memimpin kami turun dari bus dan menuju ke sebuah lorong. Beberapa wanita Jepang berambut pirang berdiri di pinggir jalan dengan senyum dan pandangan sedikit genit. Seorang lelaki tua menawarkan ke teman, "anak asuhnya". "This is cheap sir. Only USD2.000 completed with the room," tawarnya. Teman menggerakkan telapak tangan tanda tak mau. Saat tiba di sebuah ruko paling ujung, Morio masuk. Seorang lelaki bermata sipit mendekati Morio, mereka berbicara dalam bahasa Jepang.

Beberapa saat kemudian, Morio menoleh ke kami dan kembali mengingatkan untuk membawa kamera dan ponsel masuk, tapi jangan dikeluarkan. "Di sini tidak ada tempat penitipan, bawa saja masuk tapi ingat, jangan dikeluarkan," ujarnya menegaskan kembali pesannya.

Setelah meyakinkan, lelaki bermata sipit yang merupakan penjaga bar itu mempersilakan kami masuk. "Kangei, ni kite kudasai (Selamat datang, silakan masuk)," ujarnya.

Menurut Morio, sangat susah masuk ke tempat strip dance (penari telanjang), kalau tidak ada rekomendasi dari orang asli Jepang. Kami kemudian masuk, ternyata ruangannya tidak terlalu luas. Mungkin hanya sekitar 6x10 meter. Sebuah panggung kira-kira setinggi satu meter dengan luas 6x3 meter, dan kursi sofa bersusun layaknya di bioskop. Tapi hanya ada sekitar tiga baris kursi.

Saat kami datang, ternyata sudah selesai satu sesi tarian. Seorang wanita tanpa busana, tampak duduk dengan pose menantang di sisi panggung sebelah kiri penonton, dan beberapa pria antre, ada yang memegang bunga, ada pula yang memegang amplop serta bungkusan kado. Satu persatu, pria itu maju memberikan bingkisan yang dibawa, dan wanita mengganjarnya dengan sebuah pose seksi dari kamera yang mereka sediakan. Gambarpun langsung tercetak. "Arigato Gozaimasta," ujar wanita itu berulang-ulang kepada setiap lelaki yang memotretnya sambil memberi hormat.

Saat usai antrean terakhir, wanita berperawakan langsing dan tinggi itu pun membungkuk ke arah penonton. "Arigato gozaimasta, babay," ujarnya sambil melambaikan tangan.

Untuk masuk ke lokasi pertunjukan striptis, setiap pengunjung harus membayar 5.000 yen. Itu untuk sekali masuk dengan enam penari. (*)

Rabu, 16 Oktober 2013

Mangga Dua Tutup, Mangga Besar Masih Buka

ASWAD SYAM

ADA salah seorang teman, baru saja mengikuti pelatihan jurnalisme budaya selama sepekan di Hotel Atlet Century. Usai penutupan, dia kemudian datang ke mes FAJAR di Jl Madrasah II Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Dia tampak letih, maklum teman tersebut baru saja salah jalan. Tukang ojek mengantarnya ke jalan menuju Bogor, karena pendengarannya Kebayoran Baru.
    Dia sampai di mes sekitar pukul 17.30 Wita. Dia meletakkan ransel bawaannya di kamar mes. "Kak, masih bukakah Mangga Dua sekarang. Mamaku suruhka beli daster," tanyanya.     "Ai...tutupmi mangga dua sekarang. Mangga Besar mami yang buka," ujarku.
    Sejenak, dia mengambil ponsel komunikatornya, memencet-mencet tombolnya dan mendekatkan ke telinganya. "Mama, adama' di mesna Fajar. Tutupmi mangga dua ma, mangga besar mami yang buka," ungkapnya.
    Waduh....saya menyesal juga mengerjai teman ini. Untuk mamanya tidak tahu apa itu mangga besar. (*)
   

Bom Kecil Kagetkan Bu Kepsek

ASWAD SYAM

INI pengalaman saya saat meliput bersama seorang teman. Waktu itu, kami diperbantukan di Radar Sulbar (saat itu masih bernama Radar Mandar). Sesuai mekanisme penerimaan di Fajar waktu itu, mereka yang diterima harus dimagangkan di grup PT Media Fajar.

Saat itu kami jalan berdua meliput di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di daerah Polewali Mandar. Kami sempat bertemu dengan kepala sekolah, seorang perempuan. Waktu itu menjelang ujian akhir nasional, jadi tema wawancara kami seputar UAN.

Saya yang bertanya dan teman yang mencatat. Sebelum wawancara, saya melihat teman saya memasukkan rokok ke tempat rokok yang terbuat dari kayu. Dia juga memasukkan sebuah korek gas ke dalam tempat rokok kayu tersebut. Kemudian tempat rokok kayu itu dia masukkan ke saku depan celananya.

Saat lagi asik-asiknya wawancara bersama Bu Kepsek, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan dari saku celana depan teman saya, "duarrrr" dan teman saya pun terlonjak kaget dari tempat duduknya, dengan posisi seperti duduk dengan tangan masih memegang pulpen dan buku.

Bu Kepsek juga tampak kaget, sejenak wawancara terhenti. Saya melihat teman saya menahan perih di bagian depan, namun dia berusaha menahannya. "Periksa saja dulu, biar saya lanjutkan wawancaranya," saran saya. Teman saya itu pun beranjak ke kamar kecil, dan saya melanjutkan wawancara. (***)

Investigasi Cindopang "Berbuah" Punggung

ASWAD SYAM

MALAM itu, saya dan seorang wartawan duduk-duduk di teras kantor FAJAR biro Bone (waktu itu masih di Jl Ahmad Yani). Kantor biro tersebut, bertetangga dengan sebuah wisma.
Di depan wisma, teman melihat dua orang wanita muda sedang duduk. "Aswad, mauko bikin tulisan cindopang? (cindopan adalah sebutan untuk wanita penjaja seks di Bone, red). Dua orang itu cindopang," ujarnya sambil menunjuk dua wanita itu dengan bibirnya.
"Ah, masa? Tahu dari mana?" tanya saya.
"Lihat saja gayanya. Kalau tidak percaya, coba saya dekati na?" ujarnya sambil mendekati kedua wanita itu.
Saya melihat, teman itu mulai melakukan pembicaraan dengan kedua wanita yang masih berumur sekitar 20-an tahun itu. Tidak beberapa lama, dia memberikan kode kepada saya untuk mendekat.
"Mbak, kenalkan. Ini teman saya," kata teman itu memperkenalkan saya.
Kami berjabat tangan. Teman itu terus bertanya, mengorek keterangan dari dua cindopang itu, dan saya menyimaknya untuk bahan tulisan saya. Ternyata cindopang itu datang dari luar Bone.
Setelah lengkap sampai soal tarif, saya kemudian memberi tanda ke teman bahwa bahannya sudah cukup.
Sampai di kantor saya langsung membuat tulisan ficer.
Saya memberi kalimat penutup dalam ficer itu, 'Saat teman saya menanyakan tarif, wanita itu berkata, "cuma lima puluh ribu semalam bang," ujarnya sambil sedikit bermanja kepada teman saya'.
Setelah rampung, saya kemudian mengirim ke kantor melalui server berita ftp.
Seperti biasa, setiap Jumat, selesai mengirimkan berita terakhir, saya meluncur ke Makassar dengan motor. Biasa saya berangkat sekitar jam 5, dan tiba di Makassar sekitar pukul 10 malam.
Saat tiba di rumah, semua penghuni sudah tidur. Saat masuk kamar, istri terus memunggungi, tapi saya tahu dia belum tidur.
"Ada apa ya?" pikirku. "Tidak seperti biasanya, kalau saya datang biar tengah malam pun saya pasti disambut dengan ceria."
Saya menyalakan televisi, di lantai kamar depan televisi, saya melihat sebuah koran terhampar, ya halaman Bone, Soppeng, Wajo. Saya melihat ada tulisan yang dilingkari dengan spidol merah. Perlahan saya membaca 'Saat saya menanyakan tarif, wanita itu berkata, "cuma lima puluh ribu semalam bang," ujarnya sambil sedikit bermanja kepada saya'.
"Waduh, kalau ini masalahnya ni saya bisa jelaskan...di sini ada kata "teman" yang hilang," teriakku.
"Sudahlah...tidurmaki...istirahatmaki," ujar istri saya.
Saya pun berbaring di atas hamparan koran itu. (***)

Mama Sudah Salat?

ASWAD SYAM

SEBAGAI rasa terima kasih atas khasiat "sanrego" dari saya, teman yang hobi PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad, red) memberi tips agar tak kecewa saat mudik. "Kawan, saya sering kecewa kalau pulang. Biasa sampai di rumah, ternyata istri saya tanggal merah," ujarnya.
"Jadi, untuk memastikan tidak tanggal merah, saya sedikit berbagi tips sebagai sesama pehobi PJKA," lanjutnya.
"Mau tahu tidak?" tanyanya saat melihat saya masih diam.
"Iya, mau...mau. Apa itu tipsnya teman," tanyaku.
"Begini, sebelum pulang telepon dulu ke rumah pada waktu salat," katanya.
"Kenapa harus waktu salat?" Saya menyela.
"Dengar dulu, kalau waktu magrib misalnya, meneleponmaki, bilang 'mama, sudah maki salat?' Kalau dia bilang sudah, berarti aman, dia bebas tanggal merah, tapi kalo dia bilang 'saya tidak salat' berarti tidak aman, percuma kita naik ke Makassar kalo landasan becek," sarannya.
"Betul juga, patut dicoba," pikirku. (***)

Sanrego Terakhir

ASWAD SYAM

SAAT meliput ficer tentang kayu sanrego di Desa Sanrego, Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone, bersama salah seorang wartawan salah satu televisi swasta, saya dihadiahi sebatang kayu oleh tokoh masyarakat keturunan Arung Sanrego bernama Andi Patawari. Kayu itu, kami yakini sebagai kayu sanrego yang asli. Kayu itu saya bagi dua dengan teman wartawan televisi tersebut.
Seperti biasa, usai menuliskan ficer kayu sanrego, banyak teman-teman yang meminta sampel. Saat itu, kebetulan ada rapat wartawan daerah, dan saya membawa potongan kayu tersebut ke Makassar.
Sampai di kantor, saya diserbu karyawan mulai dari bagian keuangan kantor hingga satpam. Kayu itu pun habis tidak tersisa.
Saat saya pulang ke wilayah tugas di Bone, di kantor biro pada malam Jumat, seorang teman datang berkunjung. Lama dia cerita seakan ingin mengungkapkan sesuatu tapi segan. Akhirnya dia menggiring pembicaraan dengan memuji tulisan ficer "sanrego" saya.
"Begini teman, kita ini kan sama-sama PJKA, tidak ada salahnya kita berbagi," ujarnya.
"PJKA itu apa pak?" Tanyaku.
"Pulang Jumat Kembali Ahad," ujarnya.
Maklum, teman ini tugas di Bone dan istrinya tinggal di Makassar. Jadi setiap Jumat sore, dia rutin pulang ke Makassar.
"Terus kenapa pak?" Saya kembali bertanya.
"Saya datang malam Jumat ini, selain karena ini malam yang afdol, juga karena besok kita sama-sama akan melakukan ritual PJKA, jadi boleh dong saya minta sedikit kayu sanregonya," pintanya dengan wajah bersungguh-sungguh.
Waduh, kata  saya dalam hati. Kayunya sudah habis, tapi tidak tega juga sama teman ini. Akhirnya saya punya akal, saya masuk ke kamar saya ambil cutter dan saya iris gagang sapu ijuk yang terbuat dari kayu.
Saya kemudian keluar di teras mendekati teman tadi. "Ini teman, ini sanrego terakhir yang saya miliki,"
Alangkah berseri-serinya wajahnya saya lihat. Dia menerima irisan "sanrego terakhir" itu dengan beberapa kali mengucap terima kasih. Dia menstarter motornya baru pergi.
Hari Senin sore, saya duduk santai dia teras, tiba-tiba dikejutkan klason motor. Ternyata teman penerima "sanrego terakhir" datang. Dengan wajah berseri dia mengacungkan tiga jarinya dan berkata, "tiga kali semalam saya menang kawan, terima kasih sanregonya," saya hanya bisa melongo, "Jangan-jangan gagang sapu ijuk itu betul-betul kayu sanrego," pikirku. (***)