Ini Seni, Bukan Pornoaksi
TARIAN bugil di Shinjuku, bukan sekadar mempertontonkan kemolekan tubuh, tapi mereka menyebutnya sebuah seni olah gerak yang sensual.
LAPORAN: ASWAD SYAM
Shinjuku, Jepang
MUSIK mengalun pelan, lampu yang padam perlahan meremang. Seorang wanita muncul dari balik kain hitam. Tubuhnya sintal, itu terlihat dari bayangan di balik kain tipis yang dia kenakan, saat terkena lighting yang berada di panggung bagian belakang. Gerakannya lentur, mengikuti alunan musik.
Musik mengalun lirih, sang penari berhidung bangir dengan rambut dibiarkan terurai, memperlihatkan ekspresi muka yang sendu. Perlahan, dia membalikkan tubuhnya membelakangi penontonnya, lalu dengan gerakan yang pelan, dia mulai mencopot bajunya satu demi satu.
Lighting yang memancarkan cahaya jingga, menambah artistik suasana malam yang kian melarut. Para penonton terdiam, tak ada desah nafas, semua mata melotot ke arah tubuh bugil di atas panggung. Seorang lelaki Jepang yang sudah uzur duduk di bagian paling depan, di sisi kiri panggung, terlihat tak bergerak, matanya terus mengikuti lekuk-lekuk tubuh sang penari. Tampaknya dia sangat penasaran untuk menelisik lebih jauh bagian-bagian tersembunyi dari tubuh sang penari.
Begitu pula pria Jepang yang duduk di sisi kanan panggung. Kepalanya terus mendongak, jakungnya turun naik, matanya yang sipit agak melebar, menantikan tubuh sang penari membalik. Namun, sang penari tak kunjung membalikkan badan. Dia justru mendekati sebuah kursi yang sejak awal diletakkan di tengah panggung.
Penari itu pelan mengambil baju kemeja putih, celana panjang, dan topi koboi, dan mengenakannya satu demi satu dengan posisi tetap membelakang. Gaya busananya sekarang persis seperti gaya busana Michael Jackson. Musik disko mengalun riang, sang penari membalikkan badan dan mulai berdansa seiring musik disko yang mengalun.
Sepertinya, rasa penasaran dari sang penari, menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton. Begitu sang penari membuka lebar bagian terlarangnya, para penonton bertepuk tangan keras.
Musik riang kembali berganti dengan musik slow, perlahan sang penari mulai mencopoti kembali busananya, hingga tak ada sehelai benangpun di badannya. Seorang lelaki Jepang yang duduk di bagian kiri depan, membetulkan letak kacamatanya yang berlensa "pantat botol". Sejenak, kepalanya miring mencoba mencari arah pandangan yang luas ke bagian terlarang sang penari.
Seorang teman mengomentari pertunjukan itu dengan teman di sampingnya, tiba-tiba lelaki Jepang yang duduk di bangku paling depan menengok le belakang, dan beberapa kali menempelkan tangannya ke bibir. Teman itu pun terdiam.
Kami tidak sempat menyelesaikan pertunjukan malam itu. "One more again (masih ada satu lagi)," ujar Morio. Kami menggeleng, akibat jenuh dengan pertunjukan yang monoton. Tapi semua lelaki Jepang yang rata-rata mengenakan jas lengkap dengan dasi, masih setia tinggal hingga di jam-jam terakhir. Tampaknya itu sudah sangat menghibur bagi mereka. "Konbanwa, arigato gozaimatsu," ujar Takagawa, penjaga tempat pertunjukan striptis itu. (*)
TARIAN bugil di Shinjuku, bukan sekadar mempertontonkan kemolekan tubuh, tapi mereka menyebutnya sebuah seni olah gerak yang sensual.
LAPORAN: ASWAD SYAM
Shinjuku, Jepang
MUSIK mengalun pelan, lampu yang padam perlahan meremang. Seorang wanita muncul dari balik kain hitam. Tubuhnya sintal, itu terlihat dari bayangan di balik kain tipis yang dia kenakan, saat terkena lighting yang berada di panggung bagian belakang. Gerakannya lentur, mengikuti alunan musik.
Musik mengalun lirih, sang penari berhidung bangir dengan rambut dibiarkan terurai, memperlihatkan ekspresi muka yang sendu. Perlahan, dia membalikkan tubuhnya membelakangi penontonnya, lalu dengan gerakan yang pelan, dia mulai mencopot bajunya satu demi satu.
Lighting yang memancarkan cahaya jingga, menambah artistik suasana malam yang kian melarut. Para penonton terdiam, tak ada desah nafas, semua mata melotot ke arah tubuh bugil di atas panggung. Seorang lelaki Jepang yang sudah uzur duduk di bagian paling depan, di sisi kiri panggung, terlihat tak bergerak, matanya terus mengikuti lekuk-lekuk tubuh sang penari. Tampaknya dia sangat penasaran untuk menelisik lebih jauh bagian-bagian tersembunyi dari tubuh sang penari.
Begitu pula pria Jepang yang duduk di sisi kanan panggung. Kepalanya terus mendongak, jakungnya turun naik, matanya yang sipit agak melebar, menantikan tubuh sang penari membalik. Namun, sang penari tak kunjung membalikkan badan. Dia justru mendekati sebuah kursi yang sejak awal diletakkan di tengah panggung.
Penari itu pelan mengambil baju kemeja putih, celana panjang, dan topi koboi, dan mengenakannya satu demi satu dengan posisi tetap membelakang. Gaya busananya sekarang persis seperti gaya busana Michael Jackson. Musik disko mengalun riang, sang penari membalikkan badan dan mulai berdansa seiring musik disko yang mengalun.
Sepertinya, rasa penasaran dari sang penari, menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton. Begitu sang penari membuka lebar bagian terlarangnya, para penonton bertepuk tangan keras.
Musik riang kembali berganti dengan musik slow, perlahan sang penari mulai mencopoti kembali busananya, hingga tak ada sehelai benangpun di badannya. Seorang lelaki Jepang yang duduk di bagian kiri depan, membetulkan letak kacamatanya yang berlensa "pantat botol". Sejenak, kepalanya miring mencoba mencari arah pandangan yang luas ke bagian terlarang sang penari.
Seorang teman mengomentari pertunjukan itu dengan teman di sampingnya, tiba-tiba lelaki Jepang yang duduk di bangku paling depan menengok le belakang, dan beberapa kali menempelkan tangannya ke bibir. Teman itu pun terdiam.
Kami tidak sempat menyelesaikan pertunjukan malam itu. "One more again (masih ada satu lagi)," ujar Morio. Kami menggeleng, akibat jenuh dengan pertunjukan yang monoton. Tapi semua lelaki Jepang yang rata-rata mengenakan jas lengkap dengan dasi, masih setia tinggal hingga di jam-jam terakhir. Tampaknya itu sudah sangat menghibur bagi mereka. "Konbanwa, arigato gozaimatsu," ujar Takagawa, penjaga tempat pertunjukan striptis itu. (*)